PALOPO–Fenomena ‘kapling laut’ di wilayah pesisir Kota Palopo, terutama di kawasan Jalan Lingkar Timur Palopo, menjadi masalah pelik di Kota Palopo. Mulai dari era kepemimpinan Walikota Palopo HM Judas Amir hingga era pemerintahan baru, Walikota Palopo Hj Naili Trisal.
Persoalan ‘kapling laut’ ini tampaknya akan selalu menjadi masalah serius dan pelik di Kota Palopo ini. Sebab, di tengah maraknya penjualan ‘kapling laut’ dengan harga menggiurkan, polemik kepemilikan aset daerah di kawasan ini semakin meruncing, memunculkan pertanyaan besar, siapakah pemilik sah atas tanah di pesisir ini?
Kontroversi ini mencuat menyusul temuan penjualan kapling di kawasan yang secara administrasi tergolong rumit. Sebuah penelusuran menemukan bahwa sebidang tanah, yang diyakini sebagian pihak sebagai bekas wilayah laut, diperjualbelikan hingga Rp25 juta per kapling. Ironisnya, di kawasan yang sama, bangunan rumah warga sudah lama berdiri, menambah lapisan kerumitan sengketa.
Kepala Bidang Aset DPKAD Palopo, Imam Darmawan, memilih untuk bersikap hati-hati. “Sebaiknya hal itu dibicarakan di Pertanahan (Kantor Pertanahan/ATR Kota Palopo),” ujarnya singkat.
Pernyataan ini, yang terkesan ‘lempar bola’ tanggung jawab, seolah menegaskan betapa peliknya permasalahan aset ini, bahkan bagi pejabat yang berwenang.
Sikap hati-hati Kabid Aset ini bukan tanpa alasan. Status lahan di Jalan Lingkur Timur atau JLT memang tumpang tindih. Ada tiga klaim utama yang saling berbenturan. Pertama klaim wilayah laut, dimana sebagian pihak menyatakan kawasan itu adalah reklamasi atau wilayah laut, yang secara hukum merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi (Pemprov).
Kedua, klaim kepemilikan warga. Keberadaan banyak rumah yang sudah berdiri di lokasi menjadi argumen bahwa lahan tersebut sudah diakui sebagai milik pribadi atau setidaknya telah didiami.
Ketiga klaim Pemkot Palopo. Yang terbaru dan paling mengejutkan, Pemerintah Kota (Pemkot) Palopo meng-SK-kan bahwa lahan di wilayah JLT merupakan aset milik Pemkot Palopo dengan total luasan mencapai 144 ribu hektare.
Dengan adanya klaim sepihak dari Pemkot dan desakan masyarakat terkait penjualan kapling, rujukan Kabid Aset ke Kantor Pertanahan menjadi satu-satunya harapan untuk mengurai benang kusut ini.
Kantor Pertanahan diharapkan dapat melakukan validasi data dan menindaklanjuti SK Pemkot Palopo terhadap riwayat kepemilikan lahan yang sebenarnya.
Masyarakat Palopo, khususnya para pembeli “pavling laut,” kini menunggu jawaban pasti. Akankah klaim masif Pemkot Palopo berhasil membungkam praktik jual beli lahan ilegal, ataukah tumpang tindih regulasi antara Pemkot, Pemprov, dan kepentingan warga akan terus membelit aset negara ini dalam lingkaran sengketa yang tak berkesudahan? Jawabannya ada di meja Kantor Pertanahan.