PALOPO–Wakil rakyat di DPRD Kota Palopo rupanya beda pendapat menyikapi kebijakan Walikota Palopo, Hj Naili Trisal terkait kebijakan baru terkait sentralisasi kewenangan di Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dalam penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dan Surat Perintah Membayar (SPM). Tak hanya anggota Dewan, unsur pimpinan DPRD tak satu kata menanggapi kebijakan tersebut.
Kebijakan Walikota Naili tersebut terus menggelinding bagai bola panas menuai polemik di tengah masyarakat. Termasuk di parlemen, kebijakan ini menuai pendapat pro dan kontra.
Sebut saja yang pro, Cendrana Saputra Martani. Dewan yang akrab disapa CSM ini secara tegas menyatakan dukungan kepada Walikota Naili menerapkan kebijakan keuangan tersebut. Dia menilai, surat edaran yang diterbitkan Naili Trisal sebagai kebijakan strategis dan rasional untuk meminimalisir pengeluaran belanja daerah secara ugal-ugalan di tingkat perangkat daerah.
Dia menguraikan, sesuai pengalamannya sebagai anggota Banggar DPRD, pada pembahasan APBD 2025 lalu ditemukan adanya penurunan pendapatan sebesar Rp40 miliar dari target Rp270 miliar.
“Yang namanya struktur APBD, target belanja dan pendapatan harus berimbang. Misalnya, apabila belanja ditarget Rp100 miliar, maka pendapatannya juga harus sama Rp100 miliar, apa yang dilakukan Walikota Naili dengan mengeluarkan surat edaran pembayaran dana perangkat daerah harus atas persetujuan dirinya, itu saya kira sudah benar,” kata CSM.
CSM berpendapat, kebijakan Naili itu bertujuan agar perangkat daerah tidak sembarang melakukan belanja yang ujung-ujungnya akan menimbulkan utang belanja lagi. “Kita tidak ingin apa yang dialami Palopo selama dua tahun terakhir terulang kembali, sehingga perlu memang ada pengawasan yang lebih ketat dari Walikota,” kata CSM.
Masih menurut CSM, meski Walikota Naili dilantik pada bulan Agustus, akan tetapi pelaksanaan APBD Perubahan 2025 merupakan tanggungjawab dirinya selaku kepala daerah, surat edaran yang mengharuskan pembayaran anggaran perangkat daerah wajib diketahui walikota semata-mata bagian dari keinginan Pemkot Palopo meminimalisir belanja yang tidak bermanfaat atau tidak urgen di OPD.
“Soal belanja ugal-ugalan, saya kasih contoh di Dinas PUPR, target pendapatan alat berat Dinas PUPR di APBD 2025 sebesar Rp300 juta, tetapi realisasi penggunaan anggaran menunjukan belanja di OPD tersebut mencapai Rp1,2 miliar, ini sesuai informasi yang kita dapatkan saat menggelar rapat prognosis semester 1 pada bulan Juni lalu, jelas Wali Kota tidak ingin kejadian utang belanja terulang kembali yang pada akhirnya semakin membebani keuangan daerah,” kunci CSM.
Senada CSM, Anggota DPRD Kota Palopo dari Fraksi Partai Gerindra, Taming M. Somba berpendapat, kebijakan Walikota Naili tersebut, sebagai instrumen penting untuk menertibkan tata kelola keuangan daerah. “Tujuannya tentu untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas penggunaan anggaran di setiap OPD,” pendapat Taming.
Menariknya, Taming Somba menyampaikan analogi yang tajam mengenai kebijakan tersebut. “Ini saya umpakan rem untuk pengelolaan tata kelola keuangan yang baik,” kata dia.
Dalam pandangan Taming, kebijakan sentralisasi keuangan bukan sebagai upaya Walikota Naili untuk memangkas kewenangan, melainkan sebagai mekanisme kontrol yang diperlukan. Dalam konteks pemerintahan daerah, “rem” ini sangat krusial, terutama jika dikaitkan dengan penurunan klaster keuangan daerah yang dialami Palopo belakangan ini.
Data menunjukkan bahwa perubahan klaster keuangan daerah telah berimbas langsung pada pemangkasan sejumlah tunjangan anggota DPRD, termasuk tunjangan komunikasi intensif dan tunjangan reses.
Dukungan Taming Somba—yang merupakan Sekretaris Fraksi di DPRD—terhadap langkah Walikota menunjukkan adanya konsensus politik dari Gerindra bahwa kondisi fiskal saat ini menuntut kedisiplinan anggaran yang luar biasa. “Sentralisasi diharapkan mampu mencegah terjadinya pemborosan atau penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran di tingkat OPD,” katanya.
“Langkah sentralisasi ini, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi kunci untuk memulihkan klasifikasi keuangan daerah dan memastikan sumber daya diarahkan ke program-program prioritas yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Palopo,” pungkas Taming.
Berbeda dengan CSM dan Taming, Wakil Ketua II DPRD Kota Palopo, Alfri Jamil menilai langkah Naili tersebut perlu dijalankan secara hati-hati agar tidak menghambat kinerja administrasi keuangan daerah. Menurut dia, dasar hukum kebijakan ini telah diatur dalam beberapa regulasi yang memberikan BPKAD kewenangan administratif dan regulatif, sebagaimana diatur dalam regulasi PP 12 Tahun 2019, Permendagri 77 Tahun 2020, dan Permendagri 15 Tahun 2024. “Menindaklanjuti regulasi tersebut bersifat administratif dan regulatif,” ujarnya, Minggu (12/10/2025).
Legislator PDIP ini menilai, secara konsep, langkah tersebut sejalan dengan semangat good governance dan penguatan tata kelola keuangan daerah. Namun, menurutnya, implementasi kebijakan harus tetap mempertimbangkan efisiensi dan kecepatan birokrasi. “Secara konsep, langkah ini sejalan dengan semangat good governance, tapi dalam praktik perlu memastikan agar tidak menghambat kelancaran administrasi anggaran,” ujarnya.
Alfri menambahkan, penerapan mekanisme baru ini berpotensi memperlambat proses pencairan jika tidak diatur dengan baik, karena menambah satu tahapan persetujuan yang sebelumnya tidak ada. “Potensi dampaknya, proses bisa lebih lama karena menambah satu tahapan persetujuan,” pungkasnya.
Sementara itu, anggota Dewan lainnya, Muh. Bastam berpendapat, kebijakan sentralisasi dana ini sebagai langkah terburu-buru, minim kajian, dan berpotensi melanggar hukum di atasnya. “Menurut saya, kebijakan ini sama dengan aturan baru diatas aturan yang sudah jelas,” kata Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Palopo dari Fraksi Golkar ini.
Menurutnya, mekanisme pengelolaan keuangan daerah—mulai dari pengajuan hingga pencairan—telah diatur secara berlapis dalam berbagai payung hukum, termasuk UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020. “Pengelolaan keuangan daerah tidak cukup dengan niat baik. Harus ada dasar aturan dan output yang jelas,” tegas Bastam.
Diuraikan Bastam, sesuai regulasi, penerbitan SPM atau Surat Perintah Membayar cukup dilakukan oleh pengguna anggaran di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sementara SP2D menjadi kewenangan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) atau Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD). “Prosedur penerbitan SPM itu cukup dilakukan oleh pengguna anggaran di tiap SKPD. Jadi, untuk apa lagi dibuat aturan baru?” kata Bastam.
Secara hukum, Bastam menilai Walikota dinilai keliru memahami kedudukan surat edaran. Mengacu pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Naskah Dinas, sebuah surat edaran hanyalah pedoman internal. “Kalau mau tertib administrasi, pahami dulu tata naskah dinas. Jangan sampai surat edaran justru menabrak aturan yang ingin ditegakkan,” ujarnya.
Surat edaran, lanjutnya, tidak boleh menyimpang, menambah, atau mengubah substansi dari peraturan yang lebih tinggi. Upaya menertibkan administrasi justru berpotensi besar melanggar hierarki hukum.