WALIKOTA Palopo, Hj Naili Trisal diingatkan agar lebih berhati-hati supaya tidak terjebak ‘perangkap politik’ terkait kebijakan keuangan daerah, menyusul terbitnya Surat Edaran (SE) Nomor 900.1.4.8/1/BPKAD. Sentralisasi kebijakan Walikota Naili ini– yang mewajibkan persetujuan untuk setiap pencairan dana lewat Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)– sangat rawan menjebak walikota sendiri. Apalagi jika muncul masalah hukum terkait keuangan daerah.
Akademisi dan ahli kebijakan publik Unanda Palopo, Dr. Syahruddin Syah, mengingatkan Walikota Naili agar lebih berhati-hati menerapkan kebijakan tersebut. Sebab, kata dia, sentralisasi kewenangan ini sebagai ‘jebakan politik’ bagi Walikota Naili.
“Kalau semua pencairan harus lewat Walikota Palopo, itu akan memperlambat proses pelayanan, itu sama saja menjebak diri sendiri,” tegas Syahruddin, Rabu (8/10/2025).
Menurutnya, fungsi kontrol seharusnya dimaksimalkan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), bukan ditarik langsung ke kepala daerah. Hal ini juga mengindikasikan ketiadaan kepercayaan pada pejabat struktural.
Pemkot Palopo berdalih kebijakan ini untuk transparansi dan akuntabilitas APBD. Namun, Syahruddin mengingatkan, keberhasilan kebijakan sangat bergantung pada komunikasi, sumber daya, disposisi (kepercayaan), dan struktur birokrasi—mengutip Teori Edward III.
Ia mengingatkan Walikota Naili untuk segera mengevaluasi aturan ini dan mengadopsi pendekatan Pentahelix untuk tata kelola pemerintahan yang modern. “Jika komunikasi tersumbat dan distribusi wewenang terhambat, pemerintahan Palopo berisiko jalan di tempat,” pesannya.
Diketahui, sejak Surat Edaran (SE) Nomor 900.1.4.8/1/BPKAD yang diteken langsung Walikota Palopo pada 26 September 2025, setiap pencairan dana oleh Perangkat Daerah (PD) wajib mendapatkan persetujuan langsung dari Walikota sebelum Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) diterbitkan.
Kebijakan ini, yang mulai berlaku sejak ditetapkan, memunculkan dua wajah, yakni di satu sisi diklaim sebagai upaya preventif penyimpangan dan penegakan akuntabilitas kas daerah. Namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya sentralisasi kekuasaan keuangan yang berpotensi menghambat laju pekerjaan di lapangan.
SE Wali Kota Naili Trisal menetapkan alur pencairan dana yang jauh lebih ketat. Sebelumnya, proses pencairan di tingkat PD seringkali lebih cepat dengan kewenangan yang melekat pada Pengguna Anggaran (PA). Dalam mekanisme baru ini, proses diubah total, yakni pengguna anggaran di setiap OPD wajib mengajukan permohonan pembayaran belanja, lengkap dengan rincian kegiatan, rekening, nilai belanja, dan sumber dana.
Permohonan Persetujuan: Bendahara Umum Daerah (BUD) kemudian mengambil peran sentral dengan mengajukan permohonan persetujuan tersebut langsung kepada Wali Kota sebagai pemegang kuasa pengelolaan keuangan daerah. Setelah disetujui Walikota Palopo,
BUD baru menerbitkan surat persetujuan pencairan dana. Dan rupanya, Surat Perintah Membayar (SPM) dan SP2D hanya bisa diterbitkan setelah surat persetujuan dari Walikota diterima.
Narasi resmi Pemerintah Kota Palopo menyatakan bahwa langkah ini sebagai upaya strategis untuk mendorong transparansi dan memastikan setiap rupiah APBD bisa dipertanggungjawabkan, sejalan dengan UU Perbendaharaan Negara dan aturan keuangan daerah terbaru. Ini disebut-sebut sebagai ‘rem darurat’ untuk mencegah potensi penyimpangan dan menjaga kas daerah.